HIKAYAT NEGERI BUNGO SETANGKAI/ LIPATKAIN
HIKAYAT KENEGERIAN LIPATKAIN
1. Latar Belakang Kenegerian Lipatkain
Adalah salah satu dari enam Negeri tua di wilayah Rantau Kampar Kiri Kabupaten Kampar, daerah ini sudah berdiri semenjak kerajaan Gunung Sahilan berkuasa di Rantau Kampar Kiri dari abad ke 16 sampai denga runtuhnya pada tahun 1946. Setelah Indonesia merdeka Kenegerian Lipatkain merupakan ibu kota dari kewedanaan Kampar Kiri, pada tahun 1981 Kenegerian Lipatkain berubah status menjadi desa Lipatkain dan menjadi ibu kota dari Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar.
Satu tahun kemudian tahun 1982 Desa Lipatkain berupa status menjadi Kelurahan Lipatkain. ( Marlaili Rahim : 1985). Pada tahun 1999 kecamatan Kampar Kiri dimekarkan menjadi tiga kecamatan yaitu Kecamatan Kampar Kiri, Kecamatan Kampar Kiri Hulu dan kecamatan Kampar Kiri Hilir. Kemudian pada tahun 2004 Kecamatan Kampar Kiri sebagai Kecamatan Induk Kembali dimekarkan menjadi tiga kecamatan lagi yaitu Kecamatan Kampar Kiri, Kecamatan Gunun Sahilan, dan Kecamatan Kampar Kiri Tengah.
Bersamaan dengan pemekaran Kecamatan ini, Kelurahan Lipatkan juga dimekarkan menjadi lima desa yaitu Desa Lipatkain Utara, Desa Lipatkain Selatan, Kelurahan Lipatkain, Desa Sungai Paku, dan Desa Sungai Geringing. ( Kampar Kiri Dalam Angka 2010). Kenegerian Lipatkain merupakan suatu komunitas okum adat yang terdapat di Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar . Pada wilayah okum adat Kenegerian Lipatkain hari ini secara administrasi pemerintahan terdiri dari lima desa yaitu :
- Desa Lipatkain Selatan
- Desa Lipatkain Utara
- Kelurahan Lipatkain
- Desa Sungai Paku
- Desa Sungai Geringing
Secara geografis Kenegerian Lipatkain terletak di sebelah selatan Kabupaten Kampar dengan ketinggian 40 Meter dari permukaan Laut, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
- Sebelah utara berbatasan dengan Desa Kebun Durian dan Desa Subarak
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Teluk Paman Timur dan desa Tanjung Pauh
- Sebelah Timur dengan Kecamatan Salo Kecamatan bangkinang Barat
- SebelahBarat dengan Desa Gunung Sari Kecamatan Gunung Sahilan
Kenegerian Lipatkan pada hari ini terdiri atas lima desa/kelurahan dengan luas wilayah 250,2 M2. Iklim kenegerian Lipatkain adalah beriklim tropis terletak pada garis Khatulistiwa, dimana tugu khatulistiwa terdapat di desa Lipatkain Selatan Kecamatan Kampar Kiri. Sedangkan jumlah penduduk di Kenegerian Lipatkain adalah 9.793 Jiwa ( Kecamatan Kampar Kiri Dalam Angka : 2010).
Foto : Lokasi Pertemuan tiga muara sungai/titik nol derjat/khatulistiwa Masyarakat Adat kenegerian Lipatkain secara kebudayaaan menganut kebudayaan matrilineal yaitu garis kekerabatan ditarik dari pihak ibu, Kebudayan ini dikenal dengan budaya Minangkabau. Sedangkan sistem perkawinannya adalah sistem matrilokal dimana seseorang harus mencari pasangan diluar suku atau klannya. Secara adat-istiadat penduduk kenegerian Lipatkain terdiri dari Sembilan suku/pesukuan yaitu terdiri dari :
- Suku Patopang Basa dengan kepala suku Dt. Jalelo
- Suku Patopang Tonga dengan kepala suku Dt. Godang
- Suku Melayu Datuk Majo dengan kepala suku Dt. Majo
- Suku Mandailing/Maliling dengan kepala suku Dt. Sinaro
- Suku Melayu Palokoto dengan kepala suku Dt. Tanaro
- Suku Piliang dengan kepala suku Dt. Mongguong/Tumenggung
- Suku Domo dengan kepala suku Dt. Paduko Tuan
- Suku Melayu Nan Ompek kepala suku Dt. Mahudum
- Suku Melayu Bendang dengan kepala suku Dt. Paduko Majo
(Wawancara dengan Bapak Tasman Mamak Limbago Suku Domo, tgl 28 Juni 2012).
Satu suku/pesukuan disebut juga satu Kampuong, satu kampuong terdiri dari beberapa keluarga yang masih memiliki hubung kekerabatan dari pihak ibu. Satu suku/kampuong di perintah oleh Ninik Mamak diSebut “ Baompek Dalam Kampuong Balimo Jo Ughang Tuo” yaitu terdiri dari:
- Mamak Godang Ka Naghonghi ( Kepala Suku)
- Mamak Godang Ka Kampuong
- Malin
- Dubalang
- Ughang Tuo
Masing-masing memiliki tugas dan wewenang tersendiri dalam suatu satuan hukum adat di tingkat Kampuong terhadap rakyat yang disebut dengan sebutan “Kamanakan”.
2. Hikayat Kenegerian Lipatkain
Dalam hikayat adat Kenegerian Lipatkain yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi disebutkan bahwa, pada zaman dahulu kala datanglah dua orang datuk kedaerah Lipatkain secara bersamaan yaitu datuk pertama bernama Datuk Sutan Lawik Api beliau datang dengan perahu dari selat Malaka mudik ke Sungai Ombun (Batang Kampar Kiri) dan singgah (maontak Gala, membuang sauh) di daerah yang sekarang Lipatkain.
Ditepi sungai tersebut Datuk Sutan Lawik Api Manundo Kapae Sosak, Malambe (menebas) Kalimunting membuat ladang dan kebun. Tidak jauh disebelah hulu sungai datang pula seorang Datuk dari hulu sungai Kampar kiri yaitu dari daerah Gunung Merapi (Pagaruyung) yaitu Datuk Godang menghilir dari hulu dan singgah membuat ladang dan kebun pula. Kemudian disaat kedua Datuk tadi berburu binatang, dan menggumpulkan makanan dihutan( foodghatering).
Maka berjumpalah mereka berdua, maka terjadilah dialok diantara keduanya tentang siapa yang dahulu datang di daerah Lipatkain ini. Masing-masing datuk mengakui dirinya yang dahulu datang dan berhak atas daerah Lipatkain dengan menunjukkan tanda-tanda masing-masing. Setelah menunjukkan bukti masing-masing ternyata kedua datuk memang datang bersamaan, sehingga mereka bersepakat untuk tinggal bersama-masa membangun kampuong, dan ladang serta membuat janji persaudaraan layak nya adik dan kakak.
Disaat kedua datuk sedang berburu di atas sebuah bukit, mereka melihat asap api yang sangat besar di daerah aliran sungai Singingi. Maka kedua Datuk kedaerah berangkat menyelusuri sungai Singingi melihat apa gerangan yang terjadi. Didaerah Singingi kedua datuk menemui kampuong yang tengah terbakar dan mayat-mayat yang berserakan, rupanya daerah Singingi dia’la (diserang Garuda), maka terjadilah pertempuran antara Datuk Sutan Lawik Api dan Datuk Godang dengan Garuda, sehingga Sang Garuda dapat dibunuh.
Setelah Garuda dapat dibunuh, datuk-datuk tersebut mendengar tangisan anak kecil diantara reruntuhan rumah yang hancur diamuk Garuda. Direruntuhan rumah tersebut Sang Datuk menemukan seorang gadis kecil yang selamat. Maka gadis kecil tersbut dibawah ke Kampuong Lipatkain dan dibesarkan oleh kedua orang datuk tersebut. Setelah berlalunya waktu, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, dan tahunpun berganti. Maka gadis kecil yang bernama “Puti Majo” beranjak remaja dan dewasa maka tampaklah kecantikan dan rupawan nya sang Putri.
Melihat paras yang rupawan maka jatuh hatilah kedua datuk pada Puti Majo, maka jadilah perselisihan tentang siapa yang berhak untuk mengawini Sang Putri. Puncak dari persingan antara kedua Datuk, maka terjadilah pertarungan antara keduanya, setelah sekian lama bertarung, saling adu kesaktian, rupanya kedua datuk sama-sama pendekar dan tidak ada yang menang dan kalah. Setelah lelah bertarung maka dibuatlah kesepakatan untuk bersama-sama meninggalkan Kampuong dan meninggalkan Puti Majo sendirian.
Datuk Godang lari keseberang Kampuong dan menetap disana, sedangkan Datuk Sutan Lawik Api lari ke hulu Batang Olang dan menetap pula disana. Tidak lama berselang maka datanglah Datuk Sinaro kedaerah Lipatkain dari pesukuan Mandailing/Maliling, di daerah Lipatkain tersebut Datuk Sinaro menemui seorang gadis menagis sendirian. Gadis tersebut adalah Puti Majo, Puti Majo menceritakan kisah tentang kedua Kakak angkat nya yaitu Datuk Sutan Lawik Api dan Datuk Godang yang berselisih dan meningalkan Kampuong karena memperebutkan dirinya.
Dan meminta Datuk Sinaro untuk menjemput keduanya kembali ke Kampuong. Maka Datuk Sinaro berhasil membujuk kedua datuk untuk kembali kekampuong Lipatkain dan memperdamaikan keduanya. Maka dibutlah kesepakatan bahwa Datuk Sutan Lawik Api, Datuk Godang dan Puti Majo adalah bersaudara dan tidak boleh saling menikahi hal ini juga berlaku bagi anak keturunan mereka hingga hari ini(Cilampuong pata baindiak sutonyo batali juo). Maka Puti Majo dinikahi oleh Datuk Sinaro maka Datuk Sinaro menjadi simondo dari Datuk Sutan Lawik Api dan Datuk Godang. (Sumber : Alm. AR Fahruddin Datuk Mongguang).
Maka dibagilah kekuasaan diantara datuk-datuk tersebut dimana Datuk Sutan Lawik Api adalah Pemilik Rantau, Datuk Godang Pemilik tanah Ulayat dan Puti Majo Pemilik Negeri, sehingga ketiga datuk adalah penguasa dinegeri Lipatkain dengan sebutan (Datuk Batigo). Sedangkan Datuk Sinaro adalah Suluh Negeri (Andiko Besar). Maka dibuatlah sebuah Negeri dengan nama Negeri Bungo Setangkai, inilah nama awal dari negeri Lipatkain.
Kemudian datanglah beberapa suku lagi kenegeri Bungo Setangkai yaitu suku Melayu Palokoto, Suku Melayu Bendang, suku Nelayu nan ompek, suku Domo, seningga negeri Bungo Setangkai didiami oleh delapan suku sehingga berdirinya kerajaan Gunung Sailan. Pada masa kerajaan Gunung Sailan terjadilah perkara yang tak selesai-selesai di negeri Bungo Setangkai dimana negeri terbelah menjadi dua praksi besar delapan suku terpecah menjadi dua golongan yang masing masing kokoh pada pendiriannya.
Sehingga setiap persoalan tidak bisa diambil kata sepakat. Persoalan ini sampai kepada Raja Gunung Sailan, maka raja mengambil keputusan untuk menempatkan keturunannnya dari suku Piliang untuk menetap di Lipatkain sebagai penengah dari delapan suku yang berselisih. Sehingga negeri Lipatkain terdiri dari sembilan suku. 3. Adat Istiadat Kenegerian Lipatkain Masyarakat Adat kenegerian Lipatkain secara kebudayaaan menganut kebudayaan matrilineal yaitu garis kekerabatan ditarik dari pihak ibu, Kebudayan ini dikenal dengan budaya Minangkabau. Sedangkan system perkawinan nya adalah system matrilokal dimana seseorang harus mencari pasangan diluar suku atau klannya.
Saya disini tidak ingin berkomentar,saya hanya ingin bertanya karena saya ingin sekali memahami adat dan aturan di kenegrian lipatkain, pertanyaan saya Dari mana asal muasal suku di kenegrian lipatkain, dan siapa tokoh yg berperan di sana?
datuk Singo namanya..asal masyarakat sini dari banyak daerah…