Cerita rakyat ini kebanyakan tidak tertulis tetapi diwariskan berdasarkan cerita lisan dari mulut kemulut dari generasi kegenerasi, sehingga muncul berbagai macam versi, lengkap dengan bukti bukti ilmiah beserta bumbu-bumbu cerita kedikdayaan dan unsur- unsur mitologi yang diyakini oleh suatu komunitas sebagai suatu kebenaran.
Semua cerita rakyat tersebut merupakan khazanah kebudayaan bangsa, hasil cipta, karya dan rasa dari masyarakat adat asli Nusantara yang sangat perlu untu dilestarikan dari kepunahan. Jika tidak dilakukan langka-langka penulisan dan perekaman serta sosialisasi kepada generasi yang lebih mudah, maka besar kemungkinan generasi muda akan kehilangan jati dirinya karena deras nya arus globalisasi hari ini. Kota Lipatkain hari ini berasal dari sejarah turun-temurun yakni tombo yaitu :
- Hikayat Negeri Bungo Setangkai
Pada suatu masa dari waktu pada zaman dahulu, datang seorang laki-laki yang bertubuh besar, dengan mengendong dua (2) buah kendi besar di tangannya, Kendi/Takaegh pada masa itu disebut dengan “Labu”. Sebagai wadah untuk air minum, sebilah Ladiang panjang (parang panjang) sepanjang 7 hasta. Laki-laki itu datang dari hulu sungai Sibayang anak Sungai Kampar Kiri, Laki-laki di bernama TUO KUMBUOK.
Setelah sampai di Junguik Batu (Lipatkain), Tuo Kumbuok menebas dan menandai daerah yang akan di kuasainya. Dalam hikayat masyarakat adat lamanya, Tuo Kumbuok berjalan menandai daerah kekuasaannya ( ulayat) di batang Sungai Bungo(Sitingkai) adalah, senjata Parang yang awalnya Sepanjang 7 hasta, pada akhirnya perjalanannya tinggal sebesar Pisau Seraut saja.
Gambar 1. Kendi Besar/ Takegh Godang ( Tempat Minum) Datuk Godang Kubuok
Setelah berjalan menjelajah Sungai Bungo Tuo Kumbuok, kemudian menuju arah hilir Sungai Batang Kampar Kiri sampai kesuatu tempat yang bernama “ Junguik Batu” Di Loghan Tabuah ( Kelurah Lipatkain Sekarang). Di Junguik Batu ( Sebuah Batu besar yang menjorok ketengah Sungai) tersebut, maka bertemu Tuo Kumbuok dengan seorang laki-laki lain yang Juga datang dari Muara (Kualo Sungai Kampar Kiri). Laki-laki tersebut di jumpai oleh Tuo Kumbuok sedang menyumpit binatang buruan (berburu), laki-laki itu menggenalkan dirinya bernama Sutan Salawik Api.
Maka terjadilah saling sapa, saling memperkenalkan diri diantara keduanya, Tuo Kumbuok dan Sutan Salawik Api saling bertanya jawab (batonjan-tonjan) tentang siapa yang pertama sekali datang ketempat ini (Lipatkain) dirinya atau saudaranya. Tuo Kumbuok yang berbicara apa adanya dan agak pendiam, mengatakan dirinya yang pertama datang, buktinya dia sudah membuat lawehan ( rintisan) di sepanjang Batang Sungai Bungo dari muara sampai hulu sungai.
Setelah berdebat panjang lebar ( batonjan-tonjan, dalam bahasa lokal Lipatkain) maka dibuatlah kesepakatan untuk sama-sama menetap dan membuat “Rumah” bersama di Junguik Batu. Inilah rumah pertama yang dibuat di Negeri Lipatkain yakni disebuah tempat yang bernama “ Junguik Batu”. Awalnya hanya dihuni oleh dua orang bersaudara yakni Tuo Kumbuok dan Sutan Salawik Api. Maka setelah rumah selesai, keduanya mulai membuka ladang dan berburu makanan di hutan dan di sungai-sungai sebagai mata pencaharian utama.
Setelah lama menetap di Jungik Batu, maka pada suatu hari disaat kedua datuk ini sedang menunggu ladang di Bukit Kompe Sajajaegh ( Kompas Sejajar) perbukitan di sungai Bungo. Kedua datuok melihat kobaran asap tebal di daerah aliran Batang Singingi. Kedua datuk ingin melihat apa gerangan sumber dari kobaran asap di Singingi itu, maka berangkatlah kedua datuok kesungai Singingi, setelah sampai di sungai Singingi rupanya ada pemukiman orang di sungai Singingi yang diserang oleh “Garudo”. Garudo merupakan penamaan local untuk kelompok menyamun atau lanun. Maka di carilah kelompok Garudo itu oleh kedua datuk tetapi tidak ditemukan, yang dijumpai hanyalah rumah-rumah penduduk yang terbakar dan mayat-mayat yang berserakan diamuk Garudo itu.
Kemudian Sutan lawik Api bertanya kepada Tuo Kumbuok, Tuo Kumbuok apa buktinya kalau Kita sudah perna datang ke sungai Singingi ini. Maka dengan tangkasnya Tuo Kumbuok mencabut tonggak rumah besar yang separonya habis terbakar dan membawanya ke Pemukiman mereka di Junguik Batu. Kemudian Tonggak Mocu ( Tiang Tengah) rumah tersebut di sandarkan di depan rumah mereka di Jungik Batu sebagai kenang-kenangan mengejar gerombolan Garudo yang menyerang Negeri di Sungai Singingi.
Pada suatu hari, Sutan Salawik Api melihat sesorang mahluk berambut Panjang keluar dari lobang bekas terbakar “ Tiang Mocu/Utama” yang dibawa Tuo Kumbuo dari Sungai Singing dahulu. Mahluk berambut panjang ini rupanya seorang perempuan, dia masuk melalui jenjang samping menuju dapur dan mulai memasak bahan-bahan masakan yang ada didapur. Sementara Tuo Kumbuok masih sibuk bekerja di tepi Sungai Membuat Perahu.
Setelah selesai memasak, lalu Sirambut panjang bersiap siap kembali ke Gawuong (lobang kayu) tempat persembunyiannya. Dengan pelan-pelan Sirambut Panjang menuruni anak jenjang dapur, tanpa dia sadari Sutan Salawik Api datang untuk menangkap si penyusup. Tangkapan Sutan Silawik Api dapat mengenai ujung Rambut nya yang panjang yang menjela di jejang dapur, maka berteriaklah Sirambut panjang dan menangis.
Maka Sirambut panjang ini sambil sesungukan menjawab bahwa dia berasal dari Lobang batang kayu tonggak rumah yang dibawah oleh Tuo Kumbuok dari Singingi itu. Bahwa pada saat gerombolan Garudo menyerang Negerinya dia berhasil selamat dengan bersembunyi di Gawuong (lobang) kayu rumahnya, sementara orang tuanya adalah Raja di Negeri Singing itu, oleh kedua orang Tuanya di diberi nama “ Puti Majo atau Putri Maharaja” yang berasal dari Singingi.
Kedua datuk meminta Puti majo untuk memilih salah satu diantara mereka sebagai suaminya. Setelah mendengar kesepakatan yang di buat oleh Sutan Lawik Api dan Tuo Kumbuok, maka Puti Maharajo berdiam diri beberapa hari, dan minta waktu untuk berfikir “ digonang sasayak Air, di ontang saeto tali”.
Setelah tiga hari merenung, maka pada malam harinya Puti Maharajo menjumpai kedua datuk untuk memberikan jawabannya. Jawaban yang diberikan oleh Puti Maharajo adalah “ tolong siapkan perahu yang sedang tuan-tuan dibuat dan bawa saya berlayar ka Lawik Ibul/Lawik Sailan. Di Lawik Sailan itu jawaban dan pilihan siapa yang akan menjadi Laki (Suami) Puti Maharajo akan diberikan. Mendengar jawaban dari Puti Maharajo, maka kedua datuk segera menyelesaikan Perahu Layar (Pighau nan Cadik, kamudi nan bakomban, nan layar ka Lawik Seilan)”.
Pada hari yang disepakati maka berangkatlah tiga orang ini menaiki perahu berlayar ke Lawik Ibul ( Lawik Seilan). Dalam perjalanan berlayar kehilir, maka Datuk Sutan Lawik Api bertugas sebagai Haluan, sebab dia mengerti ombak laut sebab dia berasal dari Kualo. Puti Maharajo duduk di tenga perahu (Muwang) sedangkan Tuo Kumbuok bertugas sebagai Pengayun Dayung ( Kemudi). Setelah sampai di Lawik Ibul maka berdirilah Puti Maharajo, dan berkata “ Dunsanak Ambo nan Baduo, Dato Tuo Kumbuok jo Datuok Sutan Salawik api, Ambo Puti Maajo, omak ola mati, opak ola Tiado ambo sebatang kara, datuok badua mambawo Ambo ka Junguik Batu, Ambo Ndak ado badunsank, mako Tuan-tuan baduo la Dunsanak Ambo, ambo ola mentapkan dalam hari sanubari ambo, tuan-tuan Baduo la Dusanak Ambo, tapi Aghi Ko Tuan tuan meminta ambo menjadi Bini Tuan-tuan, ambo diminta untuk malilih soghang diantagho tuan badua. Kakak Atau Adiak, Tuo Kumbuok atau Sutan lawik Api, bagi ambo conto Malilie Buoh simalakomo, dimakan Mati Omak tak dimakan mati Bapo, Daghi Pado memilih macam itu Lobia elok ambo mati”.
Setelah mengucapkan kata –kata tersebut, maka Puti Maharajo menangis dan melompat kedalam Laut Ibul, melihat Puti Maharajo melompat kelaut, maka dengan sigap Tuo Kumbuok yang berdiri di Kemudi, menangkap (menyewai) Rambut Puti Maharajo dan mengangkatnya Perahu.
Ketiga orang badunsanak ini kemudian menangis bersama-sama diatas perahu, kemudian kedua datuk bersumpah kepada Tuhan yang Maha Esa, bahwa mulai hari ini mereka bertiga akan mendari “Dunsanak”. Dikiki Baabi Bosi dibasuo Baabi Air. Layaknya saudara seayah dan seibu tidak boleh untuk saling menikahi diantara sesamanya.
Setelah sekian lama menetap maka datang seorang pemuda bernama Datuk Sri Naro di Di Junguik Batu, pemuda ini berasal dari Mandailing oleh datuk nan badua, pemuda ini pemuda ini diperkenalkan pada saudarinya “Puti Maharajo”. Nampaknya keduanya saling suka lalu tidak beberapa lama kemudian keduanya di kawinkan. Maka Datuok nan baduo sekarang memiliki seorang saudari (Puti Maharajo) dan Seorang Simondo ( Ipar) yakni Datuk Sinagho (Sri Nara).
Sesuai adat yang dianut oleh kedua datuk, setelah saudarinya menikah rumah di Junguik Batu, hanya akan di huni oleh pasangan penganti Saja. Kedua Datuk harus keluar dari rumah tersebut untuk mendirikan rumah baru bagi mereka berdua nantinya juga sebagai tempat tinggal bagi istri-istri mereka. Setelah keluar dari rumah Di Jungui Batu, kedua Datuk pindah keladang mereka di Perbukitan Kompe Sejajar di Muara Sungai Bungo, inilah pemukiman kedua yang dibangun di Negeri Lipatkain, namanya Koto Bungo Setangkai. Koto Bungo Setangkai yang terdiri atas 4 suku awal yakni :
- Suku Pitopang Ulak (Pitopang Basa)
- Suku Pitopang Mudiak (Pitopang Tonga )
- Suku Malayu Puti Maharajo
- Suku Maliliang/Mandailing
Inilah empat suku awal yang terdapat di Koto Bungo Setangkai, setelah itu juga disusun tentang soko, pisoko dan limbago sesuai dengan adat yang taico pakai yang disebutkan dalam pitata petitih adat yaitu “ Adat Buek Dulu Tughe Kini ( Apa yang dibuat pada masa Dahulu, itu yang menjadi contoh masa sekarang”. Yaitu “ Undang Undang Di Datuok Godang, Kombuik Undang Di Datuok Sutan Majolelo, Nan Mamakai Datuok Maharajo Jo Kaompek Suku”.
- Penamaan Negeri Lipatkain
Penamaan Negeri Lipatkain ini muncul di suatu tempat yang awalnya disebut Junguik Batu terletak di muara anak sungai yang bernama Loghan Tabuah. Di tepi Sungai Kampar Kiri itu ditemukan Seonggok bebatuan besar yang menyerupai Lipatan-Lipatan Kain. Juga bebatuan-bebatuan yang menyerupai alat alat perkakas rumah tangga, babatuan onggokan paling besar menyerupai onggokan Lipatan kain. Maka pemukiman yang berada di Junguik Batu ( Onggokan Batu ) ini kemudian disebut “Lipatkain”. Inilah asal muasal nama Negeri Lipatkain di Kampar Kiri. Penemuan Batu kain yang berlipat-lipat ini dikaitkan oleh penduduk dengan suatu cerita legenda Si Mikin anak yang durhakan. Dari cerita Legenda itu nanti menginpsirasi masyarakat adat membuat nama Negeri-Negeri dengan nama-nama alat-alat perkakas dari isi kapal Si Mikin anak durhaka. Karena ditemukan bebatuan di sungai- Bantang Kampar kiri tepatnya di daerah Junguik Batu, dibelakang Puskesmas Lipatkain yang menyerupai Lipatan-lipatan Kain sehingga Batu itu disebut Batu Lipatkain.
Pemukiman Lipatkain ini sekarang terletak di Belakang Puskesmas Rawat Inap Kecamatan Kampar Kiri yang bersebelahan dengan SMUN I Kampar Kiri ini lokasi awal Negeri yang bernama Lipatkain. Tempat dimana posil batu tersebut ditemukan oleh masyarakat, pada hari ini posil bebatuan itu masih ada hanya saja terbenam di dalam Sungai Kampar Kiri, jika musim kemarau panjang maka bebatuan ini akan terlihat dari bibir sungai.
Sebagai bukti pada lokasi pemukiman ini terdapat banyak pekuburan tua dengan bermagai macam ornament-ornamen lama. pemukiman ini kemudian ditinggalkan oleh penduduknya, menurut hikayat tetuo adat penyebabnya adany serangan ikan Kapiek yang sangat banyak kepada penduduk. Sehingga penduduk tidak bisa kesungai untuk mandi atau atau mengambil air. Begitu Tetuo adat mengambarkan alasan pemukiman yang bernama Lipatkain ini ditinggalkan oleh penduduknya pindah kerah hulu (mudik sekitar 1 km) yakni dimuara sungai Olang, tetapi masih dibatang sungai Kampar Kiri. Pemukiman ini bernama Koto Tuo.
- Penemuan Sejarah Lipatkain Secara Ilmiah
Secara ilmiah historis, nama Lipatkain, sudah ditemukan pada tahun 1684 Masehi, dalam catatan Thomas Dias dengan sumber buku Timothi P Bernard “ Thomas Dias” Perjalanan Ke Sumatera Pada Tahun 1684 Masehi, dalam harta karun khazanah sejarah Indonesia dan Asia Eropa dari arsif VOC di Jakarta, Dokumen 1 Jakarta : Arsif Nasional Republik Indonesia 2013.
Dalam buku tersebut disampaikan bahwa dalam laporan yang diserahkan oleh Thomas Dias pada bulan Juni 1684, bahwa Thomas Dias berangkat menuju Pagaruyung melalui rute pantai timur Sumatera yakni pelabuhan VOC di hulu Sungai Siak yakni Pelabuhan Petapahan. Untuk menjumpai Raja Pagaruyung Thomas Dias tidak masuk melalui Kuala Kampar karena pada waktu itu belum ada hubungan resmi antara VOC yang bermarkas di Malaka, dengan Penguasa Kerajaan Pagaruyung, sehingga jalur resmi melalui Sungai Kampar masih tertutup bagi kapal-kapal dagang dari VOC.
Sementara VOC sudah bersekutu dengan Kerajaan Johor yang bersama-sama mengusir Portugis dari Kota Pelabuhan Malaka, pada waktu abad ke 16 Masehi Kerajaan Johor masih menguasai Sungai Siak di Sumatera Tengah.
Untuk kepentingan dagang tersebut maka Gubernur Jendral VOC di Malaka mengutus Thomas Dias untuk mengadakan Kunjungan Diplomasi dan perundingan dengan Raja Kerajaan Pagaruyung di Pedalaman Pulau di Sumatera Tengah.
Untuk mencapai Kota Pagaruyung maka Thomas Dias memulai Rute perjalanannya dari Hulu Sungai Siak yakni Pelabuhan Petapahan, dalam catatan perjalanannya Thomas Dias menulis bahwa rute perjalanan pergi menuju Pagaruyung adalah “ Dari Kota Petapahan Menuju Air Tiris , kemudian Kota Ridan ( Bangkinang) Belimbing ( III Koto Sebelimbing), Koto Padang ( Hulu batang Ulak) kemudian sampai di Longuang ( Sitingkai) menuju LIEPA CAIN ( LIPATKAIN) di Kampar Kiri. Kemudian menuju kota Pacu (Negeri Paku, Di Sungai Singingi) kemudian menyelusuri Hutan menuju Sumatera Barat sekarang sehingga sampai di Pagaruyung.
Dalam catatan rute pergi kePagaruyung inilah nama Kota Lipatkain, pertama sekali di sebut oleh seorang Penulis barat dalam catatan ilmiahnya yakni “ Liepa Cain”. Inilah sumber sejarah Ilmiah pertama tentang kota Lipatkain sekarang. Dalam Catatan Pulang ini Thomas Dias Tidak hanya menulis nama kota-kota saja tetapi juga menulis perkiraan jumlah penduduk dan jumlah rumah di kota-kota yang disinggahi, mata pencaharian penduduknya, potensi alam serta sikap penduduknya terhadap VOC.
Kota atau Negeri Lipatkain yang disebutkan dalam catatan pulang dari Thomas Dias, tahun 1684 masehi memiliki jumlah rumah tangga adalah 10 rumah, dengan perkiraan jumlah penduduk 100 orang. Sedangkan mata pencaharin penduduknya adalah semuanya petani.
- Lipatkain Zaman Belanda
Pada Tahun 1856 Masehi Controlour Belanda dari Residen Sumatera Timur di Bengkalis sudah membuat peta wilayah Kampar Kiri yang di lalui oleh garis Khatulistiwa yaitu Lipatkain. Pada Tahun 1905 Pemerintah Belanda diwakili oleh Controlur J.G Larive dan Sulthan Kerajaan Rantau Kampar Kiri Di Gunung Sahilan Yaitu Sulthan Tengku Abdul Jalil Yang Dipertuan Hitam. Kedua belah pihak menandatangani perjanjian yang disebut dengan “ Plakat Pendek atau Korte Verklaring”. Perjanjian ini adalah titik awal menguasaan Belanda atas wilayah Rantau Kampar Kiri.
Plakat Pendek ini tahun 1905 adalah Goenoeng Sahilan End Onderherigenden Verklaring pada tanggal 27 Februari 1905 Masehi. Dalam dokumen arsif kolonial Belanda, masih tersimpan nama-nama tokoh tokoh adat Serantau Kampar Kiri yang turut menandatangani Penyerahan Kedaulatan Negeri-Negeri serantau Kampar Kiri kepada Pemerintah Belanda di Bengkalis. Salah satu Negeri yang ikut menandatangani itu adalah Negeri Lipatkain yang diwakili oleh :
- Si Gombak Gelar Singo
- Si Teleng Gelar Madjolelo
- Tawar Gelar Datuk Marajo
- Tangkar Gelar Datuk Godang (Penghulu Van Lipatkain)
Di Dalam Dokumen Arsif Goenoeng Sahilan Verklaring, tanggal 11 Juli 1909, yang ditandatangani oleh Raja Tengku Abdurahman Yang Dipertuan Muda, beserta Para penghulu serantau Kampar Kiri. Para penghulu yang mewakili Negeri Lipatkain yang ikut menandatangani dokumen tersebut adalah :
- Si Gombak Gelar Singo
- Tangkar Gelar Datuk Godang
- Tawar Gelar Datuk Marajo
- Dakjar Gelar Datuk Madjolelo
- Matjam Gelar Datuk Tumenggung
- Kotai Gelar Datuk Sinaro
- Paham Gelar Dt. Tanaro
- Mon-Soelin Gelar Datuk Machudum
5. LIPATKAIN ZAMAN JEPANG
Berdasarkan informasi dari masyarakat bahwa pusat perkantoran kompetai Jepang yang mengawasi Rantau Kampar Kiri, dalam pembangunan jalur Kereta Api di Camp 7 Lipatkain adalah terletak di daerah yang sekarang di Sebut “ Muara Sitingkai”. Dahulu Camp Tentara Jepang itu di Sebut “ Rumah Panjang Jopang”.
Pada masa kekuasaan bala tentara Jepang di Indoensia, nama Lipatkain muncul sebagai nama tempat pemusatan tenaga kerja paksa (Romusha) disebut Camp 7 Lipatkain. Camp 7 ini terletak di suatu lokasi yang disebut “ Pulau Tonga ” karena disana ada sebuah pulau di tengah sungai Kampar Kiri yang menganduk batu kerikil untuk membangun jalan kereta api dari Pekanbaru menuju Sijunjung. Di Pulau Tongah ini masih terdapat Lokomotif Kereta Api uap sebagai bukti sejarah pada masa itu.
Gambar 3. Lokomotif Uap Peninggalan Jepang Di Lipatkain
Bukti lainnnya adalah banyaknya keturunan mantan-mantan pekerja Romusha di Kota Lipatkain, dimana setelah Jepang kalah perang, mantan-mantan Romusha ini tidak pulang ke kampung halaman tetapi menetap di Negeri Lipatkain, menikah dengan penduduk setempat dan berbaur dengan masyarakat tempatan di Kampar Kiri.
- Lipatkain Di Era Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan.
Raja Ibadat Gunung Sahilan yakni Tengku Haji Abdullah Yang Dipertuan Sakti, memiliki beberapa orang istri, salah satu istrinya berasal dari Negeri Lipatkain, yakni bernama Siti Urai. Keberadaan istri muda beliau di Negeri Lipatkain, sehingga beliau dominan tinggal di Negeri Lipatkain. Pada sekitar tahun 1940-an Raja Adat Kampar Kiri yakni Tengku Abdul Jalil Yang Dipertuan Besar atau dikenal dengan nama Tengku Sulung dalam keadaan sakit, sehingga Raja Ibadat Tengku Haji Abdullah melaksanakan jabatan rangkap sebagai Raja Adat dan Raja Ibadat. Pada tahun 1945, tentara Jepang menyerah kepada sekutu, sehingga pada tanggal 17 Agustus 1945, Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya di Jakarta.
Berita kemerdekaan Indonesia di Kampar Kiri, dibawah oleh seorang mantan Prajurit Peta yang bernama Hasan Basri Lilit yang berasal dari Lipatkain, berita itu didapat oleh Hasan Basri dari Pekanbaru. Oleh Hasan Basri berita itu disampikan kepada tokoh-tokoh masyarakat di Rantau Kampar Kiri, terutama kepada tokoh-tokoh masyarakat Negeri Lipatkain antara lain :
- Guru Ahmad Abdurrahman Zaini
- Guru Rahmat
- Guru Rusli
- Guru Roib
Para toko-tokoh masyarakat yang juga seorang guru ini, berita tentang Proklamasi Kemerdekaan tersebut disampaikan kepada Raja Rantau Kampar Kiri pada waktu itu yakni Tengku Haji Abdullah Yang Dipertuan Sakti. Dari sinilah munculnya dukungan dari Raja Kerajaan Rantau Kampar Kiri terhadap Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Pernyataan bergabungnya Kerajaan Rantau Kampar Kiri kedalam Negara Republik Indonesia, yang dikirim melalui Telegram kepada Pemerintah Republik Indonesia oleh Raja Adat dan Ibadat Rantau Kampar Kiri yakni Tengku Haji Abdullah Yang Dipertuan Sakti.
Gambar 4. Makam Tengku Haji Abdullah YDP Sakti di Lipatkain Selatan
Wujud dukungan dan bergabungnya Kerajaan Rantau Kampar Kiri kepada Republik Indonesia, maka pada tanggal 21 Oktober 1945 diadakan upacara Pengibaran Bendera Merah Putih pertama di Negeri Lipatkain oleh Rakyat Kampar Kiri bersama Raja Rantau Kampar Kiri Tengku Haji Abdullah Yang Dipertuan Sakti, bertempat di halaman Sekolah Rakyat di Negeri Lipatkain. Lokasi Pengibaran Bendera Merah-Putih pertama di Rantau Kampar Kiri ini adalah di Negeri Lipatkain tepatnya di halaman Sekolah Rakyat (SR) hari ini disebut Dusun I Bukit Balam SDN 001 Lipatkain diSamping Mesjid Besar Al Mizan hari ini.
Kerajaan Rantau Kampar Kiri, pada masa kemerdekaan ini ditetapkan sebagai sebuah kerajaan, dengan penguasanya aalah Raja Tengku Haji Abdullah YDP Sakti. Oleh Gubernur Sumatera Tengah Beliau diangkat menjadi Seorang “ Wedana” atas wilayah Rantau Kampar Kiri. Hanya saja pusat Kewedanaan Rantau Kampar Kiri dipindahkan Ke Negeri Lipatkain tempat beliau bermukim tidak lagi di ibu Kota Kerajaan di Gunung Sahilan.
Pada masa revolusi fisik mempertankan kemerdekaan Negara Indonesia tahun 1948 masehi, setelah Kota Yogjakarta direbut oleh tentera Belanda dalam agresi militer II. Maka terbentuklah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi. Untuk menghindari serangan tentara Belanda maka kedudukan Pusat Pemerintahan PDRI dipindahkan ke Kota Bangkinang. Setelah Kota Bangkinang direbut tentara Belanda Maka PDRI memindakan Pusat pemerintahannya ke Kota Bidar Alam di Sijujung.
Dalam Perjalan pemindahan ibu Kota PDRI ke Bidar Alam (Sijujung) tersebut, rombongan PDRI terpaksa menenggelamkan Mobil Limosin Putih yang bernama “ Gajah Putih” Mobil Dinas Gubernur Sumatera Tengku Muhammad Hasan di Penyeberangan Rakit Godang Lipatkain. Bukan hanya mobil Limosin tetapi banyak mobil-mobil milik PDRI yang terpaksa ditenggelamkan di Rakit Godang Lipatkain untuk menghindari mobil-mobil tersebut jatuh ketangan Belanda.
Dalam sebuah buku yang berjudul “ PDRI Dalam khasanah Kearsipan ” yang diterbitkan tahun 1989 oleh Kantor Arsip Nasional RI di Jakarta, ada tulisan dari kenangan ketua PDRI yakni Mr. Syafrudin Prawira Negara yang mengungkapkan “ Ada satu lagi kenangan yang tak terlupakan Mr. Sjafruddin Prawiranegara Ketua PDRI merangkap Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan dan ad interim Menteri Luar Negeri selama berada di Kampar. Pada saat rombongan pimpinan PDRI melewati Rakit Godang sungai Kampar Kiri menuju Taluk karena rakitnya kecil jadi mobil “ Limousine” putih besar mobil dinas Tengku Moh Hasan Wakil Ketua Pemerintahan PDRI merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri P dan K,dan Menteri Agama dengan nomor polisi ST- I (Sumatera Timur I) diceburkan ke sungai Kampar Kiri. Sebagaimana penuturan Mr Sjafruddin Prawiranegera ( 29 Mei 1979) “….yang terkesan juga bagi saya adalah ketika berangkat dari Bangkinang ke Taluk kita harus menyeberang sungai Kampar Kiri. Kalinya tidak lebar tetapi rakitnya terlalu kecil.Tengku Moh Hasan memiliki sebuah “Limousine” putih besar dengan nomor polisi ST-I (Sumatera Timur I) terkenal dengan sebutan “Gajah Putih” tentu saja si gajah putih ini dan mobil-mibil besar lainnya tidak bisa diseberangkan. Hanya mobil jeef saja dengan susah payah bisa diseberangkan. Apa boleh buat dengan bismillah….mobil itu dimasukkan kedalam sungai Kampar Kiri dari pada jatuh ketangan Belanda lebih baik dimasukkan ke sungai ”. Sampai saat sekarang tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai keberadaan mobil-mobil yang bernilai sejarah tersebut “ Limousine” dan beberapa mobil-mobil besar lainnya yang diceburkan ke sungai kampar kiri. Barangkali kalau belum pernah ada orang/instansi yang mengambilnya bisa dilakukan upaya-upaya untuk mengangkatnya dari dasar sungai yang memiliki nilai sejarah yang tak ternilai harganya.
Status Lipatkain sebagai ibu Kota Kewedaaan Kampar Kiri berubah, setelah tahun 1949, setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda yaitu RIS, kemudian menjadi NKRI setelah 17 Agustus 1950. Pada masa ini Rantau Kampar Kiri menjadi sebuah Distrik (Kecamatan) dalam kewedanaan Pekanbaru Luar Kota, bersama Distrik Langgam dan Distrik Siak Hulu/Tapung. Pada saat ini Tengku Haji Abdullah di angkat Menjadi Camat dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS). Setelah beliu wafat tahun 1957 maka Lipatkain tetap sebagai Ibu Kota Kecamatan Kampar Kiri.
Setelah Kewedaaan Pekanbaru Luar Kota digabungkan dengan Kewedanan Pangkalan Kerinci, Kewedaan Bangkinang dan Kewedanaan Pasir Panggaraian maka terbentuk suatu daerah Kabupaten Kampar dengan Ibu Kota di Pekanbaru kemudian di Pindahkan ke Kota Bangkinang, dalam Provinsi Sumatera Tengah dengan Ibu Kota Bukit Tinggi. Setelah terbentuknya Provinsi Riau berdasarkan Undang-Undang darurat tahun 1957, salah satu kabupatennya adalah Kabupaten Kampar yang beribu Kota di Kota Bangkinang, pada masa ini Rantau Kampar Kiri menjadi sebuah Kecamatan bernama Kecamatan Kampar Kiri dengan Ibu Kota di Lipatkain.
- Kota Lipatkain Terkini
Pada tahun 1981 Negeri Lipatkain berubah status menjadi Desa Lipatkain dengan Pusat Perkantoran Pemerintahan di Muara Sitingkai ( Koto) dan pada tahun 1982 Desa Lipatkain dinaikkan statusnya menjadi Kelurahan Lipatkain dengan Pusat pemerintahan tetap Koto Lipatkain. Pada sekitar tahun 1990-an ada program Kementrian Sosial Republik Indonesia berupa relokasi bagi masyarakat yang terkena banjir Bandang di Kampar Kiri Hulu tahun1978. Penduduk yang terkena musibah di relokasi ke pemukiman baru di Ibu Kota Kecamatan Kampar Kiri di Lipatkain. Maka dibuka pemukiman baru dengan nama “ CENGKEH”.
Program relokasi bagi masyarakat tempatan ini juga diikuti oleh masuknya program Transimigrasi di Kecamatan Kampar Kiri, salah satunya pembukaan Transimigrasi Riau Makmur Proyek Irigasi Sei Paku I dan Sei paku II. Kelurahan Lipatkain berkembang pesat. akibat program relokasi dan Transimigrasi ini akhirnya muncul kawasan perkotaan di daerah yang disebut “ Cengkeh”. Pusat perkantoran pemerintahan Kelurahan Lipatkain dan Kecamatan Kampar Kiri di Pindah dari Koto (Lipatkain asal) ke kawasan baru yang bernama Cengkeh (Kelurahan Lipatkain). Pada tahun 2003 Kelurahan Lipatkain dimekarkan menjadi 4 Desa dan 1 Kelurahan sebagai Induk yaitu :
- Kelurahan Lipatkain (Cengkeh)
- Desa Lipatkain Selatan (Koto)
- Desa Lipatkain Utara (Cengkeh)
- Desa Sungai Paku (Transimigrasi Paku I)
- Desa Sungai Geringing (Transimigrasi Paku II)
Kumpulan kelima Desa/Kelurahan ini yang disebut Kenegerian Lipatkain atau Kota Lipatkain Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Kumpulan dari 4 desa dan satu kelurahan ini membentuk sebuah kota kecil di jantung Pulau Sumatera ditengah-tengah garis Khatulistiwa itulah Kota Lipatkain.
- Lipatkain Kota Khatulistiwa
Penandaan dan pembangunan tugu khatulistiwa di Desa Lipatkain Kecamatan Kampar Kiri dimulai semenjak zaman kolonial Belanda, penentuan garis meredian, lintang dan bujur ( Titik Nol Derajat/Equinox) yang membela permukaan bumi menjadi dua bagian, garis itu ditetapkan oleh ahli-ahli geografi dan sstronomi dari Negeri Belanda.
Pada Tahun 1856 masehi, Controlour Belanda dari Residen Sumatera Timur di Bengkalis sudah membuat Peta wilayah Kampar Kiri yang dilalui oleh garis khatulistiwa yaitu Lipatkain. Pada Tahun 1905 Pemerintah Belanda diwakili oleh Controlur J.G Larive dan Sulthan Kerajaan Rantau Kampar Kiri Di Gunung Sahilan Yaitu Sulthan Tengku Abdul Jalil Yang Dipertuan Hitam. Kedua belah pihak menandatangani perjanjian yang disebut dengan “ Plakat Pendek atau Korte Verklaring”. Perjanjian ini adalah titik awal menguasaan Kerajaan Belanda atas wilayah Kerajaan Rantau Kampar Kiri.
Peta garis khatulistiwa yang dibuat tahun 1885 Oleh Negara Belanda ini nantinya menjadi acuan bagi Pemerintahan Militer Jepang pada PD II untuk membangun Jalur Kereta Api yang membela dua Pulau Sumatera dari timur ke barat melalui Rute Pekanbaru- Muara Sijunjung. Dengan tujuan untuk kepentingan perang asia timur raya. Kota Lipatkain adalah salah satu stasion dari jalur Kereta Api Jepang itu dengan Sebutan Camp 7 Romusha Lipatkain. Di Lipatkain tepatnya sekarang di Desa Lipatkain Selatan di tepi Sungai Kampar Kiri, Belanda mendirikan suatu penanda dari garis Khatuliitiwa tersebut yakni sebuah “Batu” yang berbentuk Pipih. Masyarakat lokal menyebutnya “ BATU PILA”.
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 aktivitas untuk kembali mengokohkan garis tengah bumi ini tetap berlanjut, tahun 1970-an pada masa orde baru. Tugu pertama sebagai penanda garis equator di Tengah Pulau Sumatera khususnya Kampar Kiri mengambil titik di Negeri Lipatkain Tepatnya di Desa Lipatkain Selatan, tempat itu awalnya kenal masyarakat dengan sebutan Batu Pila.
Gambar 6. Batu Pila Generasi Awal (I)
Tugu ini dibangun oleh Pemerintah Orde Baru sekitar tahun 1970-an, sebagai penguat tanda garis equator yang dibangun pada masa Belanda. Dalam perjalanan sejarahnya titik penanda garis tengah bumi di Desa Lipatkain Selatan ini mengalami beberapa kali perubahan bentuk, setidaknya sudah ada 5 kali perubahan bentuk dari masa orde baru sampai era reformasi Sekarang. Berikut dokumentasinya :
Gambar 7. Tugu Khatulistiwa Generasi Kedua (II)
Tugu generasi II ini dibangun pada era tahun 1980-an Oleh Pemerintah Provinsi Riau, sebagai regenerasi Batu Pila generasi I.
Gambar 8. Tugu Khatulistiwa Generasi Tiga (III)
Tugu generasi III ini dibangun pada era tahun 1990-an juga oleh Pemerintah Provinsi Riau, sebagai renovasi atas tugu genarasi II yang sudah mulai uzur.
Gambar 9. Tugu Khatulistiwa Generasi Ke empat (IV)
Tugu generasi IV ini dibangun pada era tahun 2000-an juga oleh pemerintah Provinsi Riau, sebagai renovasi atas tugu generasi III yang juga sudah mulai uzur. Pada awal tahun 2019 tepatnya tanggal 10 Agustus 2019 proses pembangunan tugu Khatulistiwa generasi V beserta ” TAMAN EQUATOR KOTA LIPATKAIN ”. Sesuai dengan ekspos Pemerintah Kabupaten Kampar. Pembangunan Taman Equator yang akan menjadi salah satu Mascot Kepariwisataan Di Kabupaten Kampar. Icon kebanggaan masyarakat serantau Kampar Kiri khususnya dan tentu kebanggan bagi bumi Khatulistiwa KOTA LIPATKAIN. Secara administrasi pemerintahan dan kewilayahan terletak di dusun Khatulistiwa Desa Lipatkain Selatan Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar Provinsi Riau.
Gambar 10. TUGU KHATULSITIWA GENERASI V
Pembangunan taman equator Lipatkain dalam perencanaan Pemerintah Daerah Kabupaten Kampar akan dilakukan secara bertahap, pembangunan taman equator ini tercipta dengan kerjasama yang erat antara masyarakat dengan pemerintah Kabupaten Kampar melalui Dinas Pariwisata Kabupaten. Pembangunan ini juga di dukung oleh keluarga besar dari Alm. Haji Muhammad Ali, beserta seluruh stakes holder di Kecamatan Kampar Kiri. Keluarga Besar H. Muhammad Ali yang bersedia menghibahkan tanah miliknya seluas lebih kurang 1 Hektar untuk pengembangan pembangunan kawasan taman equator di Kota Lipatkain.
Kesimpulan
Setelah melihat perjalan sejarah terbentuknya Negeri Lipatkain dari sebuah kampung kecil menjadi sebuah Koto pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia. Negeri Lipatkain Pada Masa Kerajaan Gunung Sailan adalah Negeri tempat kedudukan orang besar Raja yang bernama Datuk Singo Rajo Dibanding.
Pada masa Kemerdekaan Negeri Lipatkain pernah menjadi Ibu Kota Kewedanaan Kampar Kiri, Setelah kewedanaan Kampar Kiri berubah statu menjadi daerah bantu kewedanaan Pekanbaru Luar-Kota maka Negeri Lipatkain menjadi Ibu Kota Distrik Kampar Kiri sebagai cikal bakal Kecamatan Kampar Kiri. Setelah terbentuknya Kecamatan Kampar Kiri, Negeri Lipatkain menjadi Desa Lipatkain tahun 1981 dan pada tahun 1982 Desa Lipatkain menjadi Kelurahan Lipatkain sebagai Ibu Kota Kecamatan Kampar Kiri.
Pada tahun 2003 Kelurahan Lipatkain mengalami pemekaran menjadi 4 desa dan satu Kelurahan, sehingga hari ini Kota Lipatkain menjadi sebuah Kota Kecil di Rantau Kampar Kiri, sebagai Kota Transito bagi Kota Pekanbaru dan Kota Teluk Kuantan.
Di Kota Lipatkain terdapat Ikon tugu Khatulistiwa di Provinsi Riau, Kota ini adalah salah satu Negeri Tua di tepi sungai Kampar Kiri yang mendapat berkah berkembang menjadi Kota pada masa sekarang ini. Di Kota LIpatkain ini banyak terdapat situs sejarah masalalu dan bukti-bukti sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia yang perlu di revitalisasi dan diangkat kepermukaaan sehingga menjadi daya tarik kepariwisataan di Provinsi Riau.