SEJARAH PAHLAWAN ROMUSHA
CAMP 7 LIPATKAIN
Penulis : Zaldi Ismet
JASMERAH
(Jangan Lupakan Sejarah)
Kalau Kita berbicara tentang Romusha atau kerja paksa, tentu semua kita sudah maklum adanya ini adalah suatu bentuk kekejaman Jepang kepada bumiputra pada era perang dunia II. Salah satu lokasi kerja Paksa ini adalah Rantau Kampar Kiri, sebab wilayah ini termasuk dalam lintasan jalur kereta api Maut Pekanbaru ke Muara Sijunjung. Akan tetapi ingatan kita tentu akan tertuju kepada Orang Jawa dan tawanan Jepang dari pihak sekutu serta suku bangsa lainnya, sebagai kuli romusha itu. Pada dasarnya pengorbanan anak jati bumiputra juga ada dalam program zalim bangsa Jepang itu.
A. Kerja Paksa Bagi Anak Negeri
Dalam hikayat tutur dari para tetuo yang hidup pada zaman itu di Rantau Kampar Kiri, Jopang juga membuat Program Bagi para Ninik-Mamak Serantau Kampar Kiri untuk turut serta dalam pembuatan Rel Kereta Api ini. Dimana dalam waktu satu kali 40 hari, setiap Negeri harus menyediakan 40 orang kemenakan nya untuk bergantian melaksanakan kerja rodi ini. Pada masa Jepang ini Jumlah negeri serantau Kampar Kiri adalah 30 negeri. Maka ada 1.200 orang anak kemenakan Ninik-Mamak serantau Kampar Kiri yang musti ikut dalam kerja paksa itu setiap 40 hari dan kemenakan itu baru bisa pulang setelah ada pengganti nya oleh ninik-mamak secara bergiliran. jika tidak ada pengganti maka secara otomatis tidak bisa pulang untuk selama-lamanya sehingga Jepang kalah perang pada tahun 1945 Masehi.
Dalam hikayat tutur di Kampar Kiri, bahwa ribuan anak kemenakan rantau Kampar Kiri dari setiap negeri yang tewas dalam program kerja paksa Jepang di Camp 4. Sungai Pagar, Camp 5 Simalinyang, Camp Kebun Durian, Camp 7 Lipatkain dan camp 9 Koto Baru dan Camp 9 yang ada di Logas. Itu adalah sekelumit kisah yang perna penulis dengar dari para tetuo adat, tentu masih ada cerita sedih yang lainnya dari setiap negeri yang ada di Rantau Kampar Kiri.
Pada zaman Jepang ini, ada sekor Harimau, mengganas di Kampar Kiri. Menurut cerita dari mulut kemulut para tetuo, harimau ini merupakan harimau kebun binatang di Sumatera Barat yang dilepas oleh tentara Jepang. Menurut hikayat turun temurun harimau ini membunuh lebih dari 200 orang manusia di Kampar Kiri. Para tetuo yang selamat dari amukan Harimau Ganas ini menuturkan bahwa harimau ini tidak memakan manusia, hanya membunuh saja, cerita harimau ganas ini, bisa dijumpai di negeri, Songgan, Kuntu, ujung Bukit, Ludai, Lipatkain, Gunung Sahilan dan Negeri 8 Koto Setingkai.
Cerita harimau mangganas di Rantau kampar Kiri ini, juga diikutioleh cerita musibah kelaparan, dimana pada zaman jepang bahan makanan sangat sulit di dapat. Sementara untuk bertani masyarakat kampung tidak bisa, disebabkan para laki-laki di jemput paksa dan kerahkan oleh para Ninik-mamak untuk kerja paksa membuat rel keretapi di Lipatkain, Kebun Durian dan Logas. Kampung-kampung yang telah sepi dari laki-laki ini kemudian menjadi sasaran empuk Harimau Ganas itu. Pada akhirnya Harimau ganas ini dibunuh oleh masyarakat i Kampar Kiri
B. KULI ROMUSHA BANGSA INDONESIA
Pemancangan “ Paku Emas ” yang menandai selesainya pembangunan jalan kereta api ini dilakukan pada tanggal 15 Agustus 1945 di Pekanbaru oleh komandan tentara Jepang. Dan tepat pada tanggal itu pula Jepang sebenarnya sudah kalah perang. Sekutu memenangkan Perang Dunia ke 2. Jalan kereta api ini hanya sempat digunakan untuk membawa para POW dan tentara Jepang yang kalah perang ke Pekanbaru.
Setelah Kekaisaran Jepang menyerah kalah kepada sekutu dalam perang dunia II, maka berakhirlah kisah tragis para Romusha di Kampar Kiri. Para kuli romusha kemudian kembali kedaerah masing-masing, bagi Kuli romusha yang tidak tahu dan tidak mampu untuk kembali kedaerah asalnya sebagaian menetap di Kampar Kiri, Singingi. Para kuli yang itdak kembali itu kemudian menetap dan menikah dengan gadis setempat dan beranak pinak menjadi Simondo dalam keluarga besar masyarakat Adat Kampar Kiri.
Jalur kereta Api Pekanbaru (kini ibu kota Provinsi Riau) – Muara Sijunjung (Sumbar) dibangun tahun 1943-45 oleh tentara Jepang dengan mempekerjakan tawanan perang Sekutu terdiri dari Belanda, Inggris, Australia dan Romusha dari Pulau Jawa. KA Pekanbaru selesai dibikin tanggal 15 Agustus 1945, persis pada hari Dai Nippon menyerah kalah setelah Nagasaki dan Hiroshima dihantam oleh bom atom Amerika. Upacara selesainya KA disaksikan dari jarak jauh oleh tawanan perang bule dan Romusha Indonesia yang kurus kering, sedangkan Jepang masih bisa berteriak Banzai, Banzai dengan semangat.
Dari 6.764 tawanan perang bule yang tewas di KA Pekanbaru berjumlah 2.596 orang. Dari kurang lebih.100.000 Romusha Indonesia pada akhir 1945 cuma 20.000 orang yang hidup.Wartawan Henk Hovinga dalam bukunya Eindstation Pekan Baru 1944-1945-Dodenspoorweg door het Oerwoud (1982) menulis mereka itu telah dipaksa bekerja “ dalam suatu neraka hijau, penuh ular, lintah darat dan harimau, lebih buruk lagi miliaran nyamuk malaria, di bawah pengawasan kejam orang-orang Jepang dan pembantu mereka orang Korea”. Sejumlah film jenis ini menjadi sangat terkenal, salah satu diantaranya adalah film “The Bridge on the River Kwai”, yang bercerita tentang penderitaan tawanan perang Sekutu yang bersama dengan romusha yang berasal dari sejumlah negara Asia (termasuk Indonesia) dipaksa oleh tentara Jepang untuk membangun jalan kereta api yang menghubungkan Thailand dengan Burma.
Jalur kereta api ini menghubungkan Muara Sijunjung, yang merupakan ujung jalur SS di Sumatera Barat, dengan Pekanbaru, sebuah kota pelabuhan di sungai Siak. Jalur sepanjang 220 km ini dibangun antara 1943-1945. Alasan pertama dan utama untuk pembangunan jalur ini adalah untuk mengangkut batu bara dari Tapui, yang terletak di cabang dari jalur ini. Alasan kedua adalah alasan strategis: menghubungkan Samudera Hindia dengan Selat Malaka, pada suatu masa ketika kapal-kapal Jepang terancam oleh torpedo Sekutu.
Jalur ini dibangun di bawah pengawasan Korps Angkatan Darat ke-25. Jepang sendiri sama sekali tidak menyediakan sarana dan prasarana untuk pembangunan jalur ini, semuanya didatangkan dari Jawa dan Sumatera. Alasan strategis untuk pembangunan jalur ini jauh lebih kecil dibandingkan jalur kereta api di Burma, yang diharapkan menjadi jalur transportasi militer Jepang ke garis depan di Burma dan ke bagian timur India. Sementara jalur Burma mulai dibangun pada tahun 1942, jalur Pekanbaru baru dibangun pada bulan Maret 1943. Kereta api pertama antara Padang-Pekanbaru baru berjalan tanggal 15 Agustus 1945.
Ketika Jepang menyerah. Sekitar 50.000 romusha dan hampir 700 tawanan perang, terutama orang Belanda dan Inggris, mengalami kelelahan, kurang makan dan penyakit tropis ketika membangun jalur ini. Tampaknya Jepang sengaja melalaikan kondisi kesehatan para pekerja ini, Para pekerja selalu mengalami kekurangan obat-obatan, para dokter terpaksa melakukan pengobatan dalam kondisi yang amat buruk. Setelah perang berakhir, diketahui bahwa berkotak-kotak obat dari Palang Merah tertahan begitu saja di Pekanbaru.
Tampaknya Jepang tidak menyadari bahwa para pekerja yang sehat akan menyelesaikan jalur ini dengan lebih cepat. Kondisi para tawanan perang yang membangun jalur Burma masih lebih baik. Sekitar 80 persen dari para romusha, dan 14 persen dari para tawanan perang, tidak pernah pulang kembali. Ini bukan saja karena perlakuan terhadap para romusha lebih buruk, namun juga karena antara Oktober 1943 hingga Juni 1944, para tawanan perang belum dipekerjakan untuk pembangunan jalur ini.
Romusha membangun jalur dengan tenaga otot, 30 ribu orang bekerja dengan pacul, sekop dan keranjang. Sekitar 5.000 tawanan perang Inggris dan Belanda membangun jembatan dan memasang rel, juga dengan tenaga manusia. Pada tanggal 24 Mei 1944 rel mulai dipasang dari Pekanbaru. Pada akhir tahun itu, rel sudah mencapai Logas. Pada 7 Maret 1945 rel mulai dipasang dari Muaro. Antara Muaro dan Logas para romusha dan tawanan perang bekerja bersama-sama membangun jalur.
Di bagian-bagian lainnya, Jepang memisahkan para romusha dan tawanan perang. Jalur Muara-Logas hanya digunakan oleh kereta api yang membawa material dalam proses pembangunan. Kereta api resmi untuk pembukaan jalur pada tanggal 15 Agustus 1945 berjalan dari kedua ujung, yang satu mungkin berangkat dari Muara, dan yang lain dari kamp 10, dekat Lubuk Ambacang.
Upacara singkat pembukaan berpuncak dengan pemasangan “ Paku Emas ”. Pada bulan September 1945 dijalankan kereta api untuk membawa bahan makanan bagi para tawanan perang di kamp, dan kemudian untuk membawa mereka keluar. Segera setelah itu jalur tidak bisa lagi dipakai. Sementara itu, jalur Logas-Pekanbaru, menurut beberapa laporan, benar-benar dipakai. Di jalur ini berjalan kereta api yang membawa tawanan perang dari kamp-kamp ke tempat kerja, dan juga kereta api barang, pengangkut bahan-bahan kebutuhan hidup dan kereta api pengangkut batu bara. Pada bulan Juni 1945 alat-alat bengkel dari Pekanbaru dibawa ke Logas. Sejak bulan itu, Logas menjadi balai yasa untuk perawatan kereta api. Di sana dapat diperbaiki gerbong barang dan juga diproduksi tirpon.
Jalur Petai-Pekanbaru sepanjang 119 km, dan juga jalur sepanjang sekitar 18 km ke tambang batu bara di Tapui (11 km jalur sempit 700 mm, sisanya jalur 1067 mm) dipakai sejak awal Mei 1945 sampai 15 Agustus 1945 untuk mengangkut batu bara. Menurut Neumann dan Meijer, ada “ dua atau tiga kereta api batu bara setiap minggunya”, dan juga “beberapa gerbong batu bara disambungkan ke kereta api pengangkut tawanan perang”.
Kuli romusha di letakkan dalam Kamp/bedeng yang terdiri dari sejumlah barak tersebar di sepanjang jalur ini, sebagaimana halnya juga dengan lokasi penguburan. Romusha dan POW bekerja dari pagi-pagi sekali sampai terkadang malam hari dibawah tekanan, beragam hukuman, dan siksaan dari tentara Jepang. Pukulan dengan tongkat bambu dan popor senjata merupakan hal yang rutin, disamping berbagai ragam cara penyiksaan yang dilakukan oleh serdadu Korea dan Jepang. Makanan diberikan dalam jumlah yang sangat minim, dan kalau seseorang sakit dan tidak bisa bekerja, justru jatah makanannya tidak diberikan.
Fasilitas kesehatan dan obat-obatan sangat minim. Para POW (Prison Of War/tawanan perang) masih lebih beruntung dengan adanya dokter diantara mereka yang masih bisa menyelenggarakan operasi dengan peralatan seadanya. Sama dengan Death Railways Burma-Siam, bermacam penyakit seperti disentri, kholera, malaria, dan beri-beri digabung dengan kerja berat dan siksaan yang mereka derita menyebabkan tingginya angka kematian dari pada para romusha dan POW ini.
Lokasi Kamp secara menyeluruh ( buah) serta sketsa detail dari Kamp 7 Lipat Kain dan Kamp 9 Logas adalah sebagaimana terlihat pada sketsa yang dibuat oleh salah seorang POW Sekutu. Muaro-Pekanbaru : Kekejaman Perang & Penindasan di Rimba Sumatera Sebagaimana tampak dalam peta sketsa di atas, jalur KA Maut Muaro-Pekanbaru melalui antara lain Logas, Muara Lembu, Lipat Kain, dan Taratak Buluh. Kamp yang terdiri dari sejumlah barak tersebar di sepanjang jalur ini, sebagaimana halnya juga dengan lokasi penguburan.
Romusha dan POW bekerja dari pagi-pagi sekali sampai terkadang malam hari dibawah tekanan, beragam hukuman, dan siksaan dari tentara Jepang. Pukulan dengan tongkat bambu dan popor senjata merupakan hal yang rutin, disamping berbagai ragam cara penyiksaan yang dilakukan oleh serdadu Korea dan Jepang. Makanan diberikan dalam jumlah yang sangat minim, dan kalau seseorang sakit dan tidak bisa bekerja, justru jatah makanannya tidak diberikan. Fasilitas kesehatan dan obat-obatan sangat minim.Para POW masih lebih beruntung dengan adanya dokter diantara mereka yang masih bisa menyelenggarakan operasi dengan peralatan seadanya.
BUKTI BUKTI SEJARAH CAMP 7 LIPATKAIN
PENINGGALAN BEKAS STATION KERETA DAN BENGKEL PENINGGALAN BEKAS KANTOR COMPETAI JEPANG LOKASI RW KOTO TUO DESA LIPATKAIN SELATAN ( JL. LOKOMOTIF)
Lukisan Camp/Bedeng Romusha di Camp 7 Lipatkain
Kondisi barak di kamp dikisahkan ada yang tanpa atap sama sekali. Kalau dilihat dari gambar-gambar sketsa yang dibuat oleh beberapa orang POW, bentuk barak dan pengaturan kerja sangat mirip dengan Death Railways Burma-Siam. Gambar-gambar sketsa dan foto yang tampak di sini dapat menggambarkan secara jelas kepada kita situasi dan kondisi yang mengerikan ini. Foto-foto dibuat setelah Jepang kalah dan para POW dan romusha diselamatkan oleh tentara Sekutu, Romusha yang selamat.
Kondisi Romusha di Camp 7 Lipatkain
Diceritakan juga bahwa suatu waktu dokter POW melihat ayam yang berada di Kamp tampak sehat dan memperoleh makanan yang cukup.Ternyata ayam ini memakan burayak dari WC barak. Diambil kesimpulan logis bahwa kalau burayak ini cocok untuk ayam tentunya juga cocok untuk manusia. Burayak inipun (maaf) kemudian menjadi pilihan menu berprotein yang diberikan kepada pasien dan ternyata mampu menyembuhkan mereka. Burayak ini juga digunakan sebagai disinfektan yang mujarab.
Di sini tampak harkat kemanusian para romusha dan POW ini benar-benar direndahkan secara brutal oleh pihak yang sedang memenangkan peperangan. Lokasi Kamp secara menyeluruh ( buah) serta sketsa detail dari Kamp 7 Lipat Kain dan Kamp 9 Logas adalah sebagaimana terlihat pada sketsa yang dibuat oleh salah seorang
Pemancangan “Paku Emas” yang menandai selesainya pembangunan jalan kereta api ini dilakukan pada tanggal 15 Agustus 1945 di Pekanbaru oleh komandan tentara Jepang. Dan tepat pada tanggal itu pula Jepang sebenarnya sudah kalah perang. Sekutu memenangkan Perang Dunia ke 2. Jalan kereta api ini hanya sempat digunakan untuk membawa para POW dan tentara Jepang yang kalah perang ke Pekanbaru.
Sumber :
( Dihimpun dari berbagai sumber, bacaan buku, internet, dan wawancara para tetuo Kampong )
Selamat membaca……..