HIKAYAT GARIS KHATULISTIWA
(GARIS NOL DERAJAT)
DI DESA LIPATKAIN SELATAN
Wilayah Rantau Kampar Kiri telah memiliki sejarah yang cukup panjang berbagai tingggalan budaya masa lampau, baik yang berasal dari jaman pengaruh Hindu-Budha , maupun dari jaman pengaruh Islam banyak ditemukan di wilayah ini. Di antara tinggalan-tinggalan budaya itu, tinggalan budaya yang berasal dari jaman pengaruh Hindu-Budha dibuat pada masa Kerajaan Sriwijaya pada abad ke 6-13 M. Meski pun demikian tidak tertutup kemungkinan ada juga yang dibuat pada masa sebelum kerajaan itu berdiri. Berdasarkan berita I- Tsing disebutkan sebuah tempat dimana Ibu Kota Mo-lo you itu terletak tempat dimana pada tengah hari orang menginjak kepalanya (bayangannnya sendiri) dimana lokasi ini menunjukkan arah garis Khatulistiwa. Kemudian juga dalam prasasti kedudukan bukit dimana disebutkan adanya suatu daerah “ MinanggaTamwan ” yang oleh Poerbotcaroko ditafsirkan sebangai “ Minangga Temon atau pertemuan sungai-sungai, sebagai tempat awal kebangkitan Sriwijaya. Dimana menurut beliau lokasi Minangga Temon itu adalah pertemuan sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Kalau ini benar, tentu sebelum kerajaan Sriwijaya berdiri telah ada suatu bentuk pemerintahan lain di daerah Kampar khususnya di Rantau Kampar Kiri.
Data arkeologis menunjukkan bahwa di wilayah Rantau Kampar Kiri, telah lama dihuni orang. Terbukti dengan ditemukakannya bekas-bekas reruntuhan candi an perbentengan di daerah Gunung Sahilan yakni “ situs Gunung Ibul ” kemudia tembayan besar (kendi besar), serta makan-makan tua di daerah Lipatkain atau Bungo Setangkai, yang disebut makam Datuk Kumbuok. Serta ditemukannya komplek perkampungan tua, serta makam-makam raja Islam di desa Kuntu kecamatan Kampar Kiri disuatu tempat yang disebut Kebun Rajo.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pengertian situs dijelaskan sebagai berikut: “ Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu”.
Sungai Kampar Kiri bermata air dari Gunung Ngalau tinggi, Gunung Solok janjang, Gunung Paninjauan Nan Elok, memiliki luas daerah tangkapan air 7.053 km². Sungai Kampar Kiri memiliki banyak anak sungai besar diantaranya bernama Batang Sibayang, Batang Singingi, Sungai Teso, Sungai Lipai, Sungai Sitingkai, serta puluhan sungai-sungai kecil lainnya. Diantara anak-anak sungai Batang Kampar Kiri tersebut hanya ada beberapa sungai yang dihuni oleh pemukiman manusia sebagai tempat pemukiman yakni :
1. Sungai Singingi
2. Sungai Sibayang
3. Sungai Sitingkai
4. Sungai Lipai
5. Sungai Teso
Diantara lima sungai yang terdapat pemukiman penduduk didalamnya, ada tiga sungai yang memiliki persebaran penduduk yang banyak yakni sungai Singingi, sungai Sibayang dan sungai Sitingkai. Uniknya ketiga sungai ini bermuara di Koto Bungo Setangkai/Lipatkain, dimana dipertemuan diantara tiga sungai ini terletak GARIS KHATULISTIWA. Koto Bungo Setangkai ini adalah disebut Kapalo Koto Gunung Sailan, karena Koto Dalam Gunung Sailan terletak dihilir Koto Bungo Setangkai, sedangkan di Hulu Koto Bungo Setangkai terdapat Negeri Lubuk Cimpuer yang disebut Negeri Indo Ajo yang menjadi batas dengan negeri-negeri di rantau Andiko (Sibayang ) dimana Negeri Kuntu Teroba adalah gerbang untuk memasuki negeri-negeri di Antau Andiko (Sungai Sibayang). Sementara aliran sungai Sitingkai juga menjadi jalur utama dan singkat untuk mencapai daerah hulu Kampar kanan melalui hulu sungai ini, atau tepatnya menuju wilayah XIII Koto Kampar melalui negeri Balung dihulu Sitingkai, dimana di Koto tuo XIII koto Kampar juga terdapat peninggalan peradaban tua yakni Candi Muara Takus, yang dianggap sebagai salah satu peninggalan dari Kedatuan Sriwijaya.
Dalam cerita rakyat Kampar Kiri pada zaman dahulu sungai Batang Kampar Kiri, itu adalah masih berupa lautan dan anak-anak sungai itu dulunya bermuara ke laut. Laut yang berada di daerah batang Kampar Kiri itu dulunya di sebut laut Sailan atau Lawik Sailan menurut dialek lokal Kampar Kiri. Dalam catatan I-Tsing yang Terlupakan, Kini menjadi silang sengketa para ahli atas pengakuan pusat kerjaan Sriwijaya, terbantahkan. Sebuah temuan lama yang tersembunyi dari karya Prof Dr Slamet Muljana, arkeolog dari negara yang sama, menulis dalam bukunya “ Sriwijaya ” tersemat nukilan sejarah dari catatan I-Tsing (Yi-Jing) pada 635-713 M. Ia seorang dari tiga penjelajah terkenal dari Cina. Kedua pendahulunya adalah Fa-Hsien dan Hsuan-Tsang.
Bagi Slamet Mulyono, catatan ini sangat kuat. Bahwa I-Tsing pernah menulis keberadaan pusat kota Sriwijaya terletak di daerah khatulistiwa. Deskripsi tempat ini sangat jelas: “APABILA ORANG BERDIRI TEPAT PADA TENGAH HARI, MAKA TIDAK AKAN KELIHATAN BAYANGANNYA”.
Jika dilihat dari lokasi bayang-bayang tersebut, maka letak Candi Muara Takus, Bungo Setangkai, Gunung Ibul dan Kuntu Teoroba , berdasarkan garis khatulistiwa berada di titik nol atau disekitar garis tengah bumi tersebut, diduga menjadi Tapak-Tapak dari suatu peradaban Tua Sriwijaya di Provinsi Riau ini.
SEKIAN DOELUE
SEKRETARIAT DESA LIPATKAIN SELATAN MEDIA CENTER